Live Streaming TV

Sabtu, 24 November 2012

Mengenal Bunga Potong: Krisan, Mawar, dan Gerbera

Aneka bunga potong
Bunga potong adalah bunga yang dimanfaatkan sebagai bahan rangkaian bunga untuk berbagai keperluan dalam daur hidup manusia yaitu mulai dari kelahiran, perkawinan, dan kematian. Oleh karena itu bunga mempunyai nilai ekonomi tinggi. Di lain pihak, beberapa orang percaya bahwa melalui merangkai bunga mereka mampu mengekspresikan kemampuan estetika (Widyawan dan Prahastuti, 1994).
Bunga potong selain untuk bahan rangkaian bunga, juga merupakan sarana peralatan tradisional, agama, upacara kenegaraan, dan keperluan ritual lainnya. Bahkan dibutuhkan pula untuk berbagai keperluan industri makanan, minuman, obat maupun kosmetika atau minyak wangi. Kini masyarakat semakin terbiasa dengan pengiriman rangkaian bunga sebagai ungkapan perasaan suka maupun duka cita. Dengan demikian, permintaan bunga menjadi meningkat baik jumlah maupun jenisnya.

Tim Direktorat Bina Produksi Hortikultura (2008) mencatat pendapat para petani bunga yang menyatakan bahwa ada tiga jenis bunga potong yang mempunyai nilai komersial di Indonesia antara lain: krisan, mawar, dan gerbera (hebras). Di bawah ini penjelasan dari beberapa komoditi bunga potong yang diusahakan di lokasi pembudidayaan:

Krisan (Chrysanthemum, sp)
Krisan
Krisan merupakan tanaman bunga hias berupa perdu dengan sebutan lain seruni atau bunga emas (Golden Flower) yang berasal dari dataran Cina. Bunga krisan tumbuh menyemak dengan daur hidup sebagai tanaman semusim ataupun tahunan.
Berdasarkan jumlah bunga yang dipelihara dalam satu tangkai, bunga krisan dibagi kedalam dua tipe yaitu tipe standar dan tipe spray. Tipe standar hanya memiliki satu bunga pada satu tangkai dengan ukuran yang lebih besar, sedangkan tipe spray memiliki 10-20 kuntum bunga dalam tiap tangkainya dengan ukuran bunga yang kecil-kecil. Bunga krisan standar terdiri dari beberapa varietas diantaranya White Fiji, Yellow Fiji, Holiday, Allouis dan Astro. Bunga krisan spray diantaranya terdiri dari varietas Puma, Yellow Puma, White Regent, Town Walk, Heidy Yellow, Heidy White, dan Zroland.
Bunga krisan dapat tumbuh pada suhu 20-26oC, dan membutuhkan kelembaban udara tinggi. Pada fase awal, seperti perkecambahan benih atau pembentukan akar bibit setek, diperlukan kelembaban udara antara 90-95%. Tanaman muda sampai dewasa tumbuh dengan baik pada kondisi kelembaban udara antara 70-80%. Tanah yang ideal untuk bunga krisan adalah bertekstur liat berpasir, subur, gembur dan drainasenya baik, tidak mengandung hama dan penyakit, memiliki derajat keasaman tanah sekitar 5,5-6,7 dan memiliki ketinggian tempat antara 700-1.200 mdpl.

Rangkaian bunga krisan

Mawar (Rosa, sp)
Mawar merupakan tanaman hias berupa herba dengan batang berduri yang termasuk dalam famili Rosaceae. Nama umumnya dalah Rose, Miniature Rose, atau Baby Rose. Jumlah varietas mawar yang ada saat ini diperkirakan mencapai 5.000 macam, namun hanya sekitar 300-400 varietas saja yang dikenal secara umum dan sering dibudidayakan dan kemudian digolongkan menjadi sembilan kelompok utama yaitu Hybrid Tea, Floribunda, Grandiflora, Climbing Rose, Polyantha, Hybrid Perpetual, Mawar Tea, Mawar Tua, dan Special Purpose.

Mawar merah
Tanaman mawar dapat tumbuh pada suhu 18-26oC dan kelembaban 70-80%. Penanaman mawar dapat dilakukan secara langsung pada tanah secara permanen di kebun atau di dalam pot. Tanaman mawar cocok pada tanah liat berpasir, subur, gembur, banyak bahan organik, aerasi dan drainase baik, dengan derajat keasaman tanah 5,5-7,0. Bunga mawar dapat tumbuh dan produktif berbunga di dataran rendah sampai tinggi (pegunungan) rata-rata 1.500 mdpl.

Gerbera (Gerbera, sp)
Bunga gerbera
Gerbera merupakan tanaman bunga hias berupa herba tidak berbatang. Masyarakat Indonesia menyebut gerbera sebagai gebras atau hebras. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman hias pendatang dari luar negeri (introduksi) dan diduga berasal dari Afrika Selatan, Afrika Utara dan Rusia. Berdasarkan struktur helai mahkota bunganya dikenal empat jenis gerbera yang telah dibudidayakan di Indonesia yaitu:
1.     Gerbera berbunga selapis: helai mahkota bunga tersusun selapis dan umumnya berwarna merah, kuning dan merah jambu.
2.     Gerbera berbunga dua: helai mahkota tersusun bervariasi lebih dari satu. Lapis helai mahkota bagian luar nampak sekali perbedaan susunannya. Contoh berbunga lapis dua yaitu Gerbera jamensonii Fantasi Double Purple yang berwarna cerah.
3.     Gerbera berbunga tiga lapis: contoh dari bunga jenis ini adalah Gerbera jamensonii Fantasi Triple Red yang berbunga dominan merah, kemudian bervariasi kuning atau hijau kekuningan.
4.     Jenis Gerbera yang dihasilkan oleh Holand Asia Flori Net di Belanda, dengan ukuran yang lebih besar dari ketiga jenis di atas. Varitas yang ditanam adalah Gerbera yustika (pink merah), Orange jaffa (oranye cerah), dan Ventury (oranye tua).
Gerbera dapat tumbuh dengan baik di daerah yang beriklim sejuk dengan suhu udara minimum 13,7-18oC dan maksimum 19,5-30oC. Media tanam tanah yang baik untuk tanaman hias gerbera yaitu tanah lempung yang berpasir, subur dan banyak mengandung bahan organik atau humus. Derajat keasaman tanah (pH tanah) yang cocok untuk budidaya hebras sekitar 5,5-6,0. Di Indonesia ditanam mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian tempat antara 560-1.400 mdpl.

Sumber:
Widyawan dan Prahastuti. 1994. Bunga Potong : Tinjauan Literatur. PDII. Jakarta.

Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Produksi Tanaman Hias di Indonesia 2003 – 2007. Direktorat Jenderal Tanaman Hias. Jakarta.

Read More......

Rabu, 07 November 2012

Hanya Sekedar ...

Entah berapa lama aku sudah berada di kamar berukuran 3 x 4 ini. Sebuah ruangan yang cukup luas untuk kutinggali seorang diri. Kini tak ada lagi mereka yang suka berkunjung walau hanya untuk sekedar menonton bola MU vs Chelsea. Benar-benar merasa seperti seorang narapidana yang terasing di pulau nusakambangan. Yah beginilah hidup seorang mahasiswa tingkat akhir yang skripsinya tak kunjung berakhir.

Sebenarnya niatan untuk mengakhiri status mahasiswa sudah ada sejak tahun lalu. Persis di bulan November 2011, kala itu aku membuat sebuah lagu penyemangat kelulusan “Aku Mengejar November”, tapi ternyata semua itu cuma mimpi buat seorang yang naïf seperti diriku.

… Aku mengejar November,
tak kan pernah berhenti walau berlari.
Aku mengejar November...
Bangun pagi-pagi,
lupa gosok gigi,
tuk ketemu dosen,
di pagi hari ini…”

Hahaha, sungguh aku masih mengingat semuanya seakan baru kemarin aku menulis lirik itu. Saat ini bukan sebuah lirik lagu yang sedang kutulis, melainkan sebuah draft penentu hidupku di esok hari, dan ternyata semua itu tidak mudah. Banyak hal yang bisa menjadi sumber kemalasan di kamar ini. Layaknya hantu gendong di film Shutter, kemalasan selalu saja menggondoliku sehingga draft-ku tidak kunjung usai. Kadang TV begitu menggoda untuk ditonton, kadang facebook selalu memanggilku untuk update status, dan kadang pantatku tidak seimbang waktur diatas kasur, sehingga aku pun terlelap tidur.
Ah, aku yakin itu semua hanya sekedar alasan palsu. Hanya sekedar alibi busuk dari ruwet-nya skripsiku. Betapa tidak, lihat saja rumus kimia itu sejenak. Bagaimana bisa 3 lingkaran benzene menjadi sebuah pigmen yang berwarna merah terus dikasih adonan pati aci, dan itu harus stabil. Nah lho, ga ngerti kan? Sama, haha.
Aku takut satu hal, aku takut skripsiku tidak sempurna. Aku takut ada data yang kurang, karena jika begitu aku harus mulai dari awal dan itu panjang sekali prosesnya. Dimulai dari pemetikan daun jati di lahan Fakultas Pertanian UGM sampai jadi kerupuk gurih berwarna merah yang siap disantap. Itu ga mudah guys, ciyus deh. Mungkin jika ada kalian, ga akan sesulit itu. Dari lubuk hati yang paling dalam, aku menyesal. Aku menyesal karena menunda penelitianku bareng kalian teman seperjuanganku. Seharusnya dunia ini begitu indah disaat kita bahu membahu, tolong-menolong, dan saling menegur sapa tentang penelitian kita masing-masing. Iya aku menyesal.
Penyesalan selalu datang terakhir, namun aku tidak bisa begini terus. Aku harus move on. Aku harus terus semangat demi mereka yang rela melakukan pengorbanan apapun untuk melihat aku mengenakan toga kelulusan. Aku tidak mau mengecewakan mereka. Aku yakin aku bisa. Walau aku terlambat lulus, setidaknya banyak hikmah dibalik itu yang bisa aku ceritakan pada anak cucuku nanti. Mungkin saat ini temanku sudah berada di Sumatera atau Kalimantan untuk bekerja, atau bahkan di Jepang untuk menimba ilmu S2. Tapi aku yakin, setiap orang punya cerita hidup masing-masing, yang diberikan oleh Dia Sang Pencipta, yang terbaik untuk kita. Inilah jalan terbaikku.
Tulisan ini bukanlah untuk mengutuk segala takdir yang datang menghampiriku, tapi ini hanya sekedar mengingatkanku betapa aku masih punya kehidupan. Ingatlah diluar sana banyak yang menyayangi kita dan ingin kita kembali dengan sukses. Kesuksesan tidak akan diraih dengan penyesalan tetapi dengan perbuatan. (Septa)


 

Read More......

Senin, 05 November 2012

Produksi Pigmen Angkak

Angkak
Pigmen angkak adalah produk fermentasi Monascus, yang mempunyai sifat kelarutan tinggi, warna stabil, mudah dicema dan tidak bersifat karsinogenik. Pigmen ini dapat diproduksi secara fermentasi padat dan fermentasi cair, tetapi pada umumnya dengan fermentasi padat. Fermentasi secara sub-merged culture dengan mutan Monascus angka V-204 akan dihasilkan pigmen merah yang tinggi, tetapi sebaliknya dengan menggunakan parent strain Monascus angka akan dihasilkan pigmen merah lebih sedikit.

Pada dasarnya produksi pigmen angkak dimulai dengan penyiapan substrat steril dan memenuhi kondisi yang diperlukan Monascus dalam pertumbuhannya. Substrat yang telah siap diinokulasi dengan inokulum Monascus dan diinkubasikan selama sekitar 20 hari.
Substrat beras biasa digunakan dalam produksi pigmen angkak (Yuan, 1980). Substrat lain adalah jagung, singkong, tepung tapioka dan gaplek, ubi, sagu, terigu, suweg dan kentang dan campuran onggok-ampas tahu. Produksi angkak dengan substrat tepung tapioka ditambah ekstrak khamir, pepton dan ekstrak malt akan dihasilkan pigmen lebih baik dari pada beras dan jagung.
Monascus memerlukan unsur baik karbon, nitrogen, vitamin, mineral dan faktor lingkungan seperti pH, oksigen, kelembaban dan suhu. Pigmen dibentuk oleh monascus saat salah satu unsur nutrisi habis, biasanya nitrogen atau phosphor dan tahap ini dikenal dengan tahap idiofase.

Bagan prinsip dasar produksi angkak
Sumber nitrogen yang dipakai dapat menentukan tipe pigmen yang dihasilkan. Sumber nitrogen yang berupa ekstrak khamir atau nitrat akan dihasilkan pigmen merah, sedangkan amonium dan monium nitrat akan terbentuk pigmen bewama jingga. Ekstrak malt tidak cocok bagi pertumbuhan dan pigmentasi.
Urea dapat menghambat produksi pigmen pada galur KB 11304. Sumber nitrogen dari KNO3 ternyata memberikan hasil pigmentasi tertinggi jika dibandingkan dengan NaNO3, NH4NO3, (NH4)2 SO4 dan urea. Penambahan pepton 6% akan memberikan hasil pigmentasi yang sama tingginya dengan penambahan pepton 0.4% dan 0.3% KNO3. Tetapi hasil yang lebih tinggi dihasilkan dengan penambahan 4% tepung kedelai pada substrat yang rnengandung 3% tepung tapioka dan 0.2% ekstrak khamir.
Rentang keasaman bagi produksi pigmen Monascus adalah 3 sampai 7.5 dan kisaran suhu 20oC sampai 37oC dengan kondisi optimum 27oC. Substrat campuran onggok ampas tahu kondisi optimum dicapai apabila kadar air 55% dan pada beras PB 36 dengan kadar air awal 45%.

Bagan proses produksi Chinese chu kong
Bagan proses produksi angkak di China (Yuan, 1980)
Chu kong tsaw adalah inokulum istimewa, merupakan campuran dari Monascus purpureus dan Saccharomyces formosensis. lnokulum ini ditumbuhkan pada campuran beras dan anggur beras (rice wine) dan diinkubasikan pada suhu 33oC selama 12 hari sampai 15 hari. Hasilnya digiling, digunakan sebagai starter produk chu kong.
Sedangkan di Taiwan produksi angkak dengan cara menambahkan kultur Monascus purpureus pada beras atau potongan roti berukuran 1 cm3, disterilkan dan diinkubasikan pada suhu 33oC selama 10 hari.

Read More......

Minggu, 04 November 2012

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Definisi UMKM
Contoh UMKM
Terdapat beberapa lembaga atau instansi yang memberikan definisi mengenai usaha mikro kecil menengah (UMKM). Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UMKM didefinisikan sebagai berikut:
‘Pasal 6
(1) Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2) Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar rupiah).

(3) Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah)’.

Sementara itu, Rahmana (2009) mengungkapkan batasan pengertian UMKM yang ditetapkan oleh BPS berdasarkan jumlah tenaga kerja, untuk usaha kecil berjumlah lima sampai dengan sembilan belas orang, sementara usaha menengah berkisar antara dua puluh sampai dengan sembilan puluh sembilan tenaga kerja. Batasan pengertian UMKM diatas sesuai dengan defiinisi UMKM yang diberlakukan bagi Asian Development Bank (ADB) yang dikutip oleh Eva (2007).

Karakteristik UMKM
UMKM memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan jenis usaha besar, termasuk karakteristik yang membedakan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sendiri. Berdasarkan data BPS (2006) yang dikutip oleh Tambunan (2009) dalam buku UMKM di Indonesia, diketahui bahwa dari segi tenaga kerja, lebih dari sepertiga (sekitar 34,5 persen) UMKM dikelola oleh tenaga kerja berusia di atas 45 tahun, dan hanya sekitar 5,2 persen pengusaha UMKM yang berumur di bawah 25 tahun.
Tambunan (2000) seperti dikutip oleh Sulistyastuti (2004) mengungkapkan bahwa tenaga kerja yang diperlukan oleh industri kecil tidak menuntut pendidikan formal yang tinggi. Sebagian besar tenaga kerja yang diperlukan oleh industri ini didasarkan atas pengalaman (learning by doing) yang terkait dengan faktor historis (path dependence). Tulisan lanjutan Tambunan (2009) mengenai UMKM mengungkapkan bahwa struktur pengusaha menurut tingkat pendidikan formal memberi kesan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan rata-rata pengusaha dengan skala usaha. Artinya, semakin besar skala usaha, yang umumnya berasosiasi positif dengan tingkat kompleksitas usaha yang memerlukan keterampilan tinggi dan wawasan bisnis yang lebih luas, semakin banyak pengusaha dengan pendidikan formal tersier.
Mengacu pada data BPS (2006) yang dikutip Tambunan (2009) diketahui bahwa sebagian besar pengusaha UMKM mengungkapkan alasan kegiatan usaha yang mereka lakukan adalah latar belakang ekonomi. Artinya usaha ini dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh perbaikan penghasilan dan atau merupakan startegi untuk bertahan hidup. Hal ini didukung dengan kondisi tingkat pendidikan pengusaha yang mayoritas tergolong rendah. Usaha ini dilakukan dengan alasan tidak ada lagi jenis pekerjaan lain yang dapat dilakukan dengan tingkat pendidikan formal yang tergolong rendah. Beberapa pengusaha juga menjalankan usaha dengan mempertimbangkan prospek usaha ke depan, seperti adanya peluang dan pangsa pasar yang aman dan besar. Namun, sebagian lainnya mengungkapkan latar belakang keturunan, artinya meneruskan usaha warisan keluarga.
Data BPS (2006) yang dikutip oleh Tambunan (2009) juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak UMKM, namun tidak seluruh UMKM ini berbadan hukum. Justru sebagian besar UMKM yang ada, yakni sekitar 95,1 persen dari jumlah unit usaha tidak berbadan hukum. Hal ini dapat diterima dengan alasan kebanyakan UMKM memiliki modal yang sangat minim dan terbentur berbagai birokrasi dan persyaratan yang rumit dan kompleks untuk mendapatkan pelayanan dalam pengembangan usahanya.
Menurut Sulistyastuti (2004), yang juga menjadi karakteristik UMKM adalah pemakaian bahan baku lokal. Keberadaan UMKM seringkali terkait dengan tingginya intensitas pemakaian bahan baku lokal, misalnya UMKM kerajinan meubel ukiran khas Jepara, batik asal Pekalongan dan berbagai komoditas lokal unggulan lain yang dijadikan bahan baku dalam usaha.

Modal Kerja UMKM
Clapham (1991) menyebutkan bahwa hampir tanpa kecuali, pengusaha kecil dan menengah mengatakan bahwa masalah yang paling besar yang mereka hadapi adalah masalah keuangan. Mereka mengeluh tentang kekurangan modal tetap dan modal kerja. Bidang lain yang juga banyak menimbulkan kesulitan adalah kredit bagi konsumen. Dalam berbagai hal, demi kemajuan dan pengembangan UMKM, pemerintah maupun berbagai lembaga keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan non bank telah berupaya dalam memberikan pelayanan, terutama dalam hal pinjaman modal usaha. Namun kenyataannya, untuk mengakses pelayanan ini, UMKM dibebani berbagai persyaratan dan jalur birokrasi yang panjang dan rumit. Akibatnya, pemberian layanan pinjaman modal dan kredit pun menjadi tidak dapat diakses UMKM secara optimal. Pada intinya perbaikan sistem perkreditan perlu ditempuh melalui pengadaan pelayanan pendampingan yang profesional serta pemberian kredit yang terintegrasi dengan intervensi lain untuk mengatasi faktor-faktor penghambat pengembangan usaha kecil itu sendiri.

Salah satu sumber modal UMKM yakni Koperasi
 Akses Pasar dan Informasi
Ketidakpercayaan terhadap kemampuan UMKM dalam menghadapi era globalisasi berorientasi pada mekanisme pasar bebas memang cukup beralasan, karena keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam kelompok tersebut. Namun demikian perlu diingat bahwa sejak era penjajahan, UMKM sudah dihadapkan dan ditempa dengan berbagai masalah termasuk dari aspek pemasaran, tetapi UMKM tetap eksis dalam mendukung pertekonomian nasional. Ketidakmampuan UMKM untuk menghadapi pasar global mungkin timbul karena lemahnya akses terhadap informasi (Syarif, 2008).
Clapham (1991) menyatakan bahwa terdapat kekurangan penyalur informasi yang mampu bagi perusahaan kecil dan menengah. Perusahaan-perusahaan menemui kesulitan untuk memperoleh peluang masuk ke pasar pemerintah karena mereka kurang mengetahui seluk-beluk peraturan pemerintah yang berkaitan atau persyaratan pemerintah.
Lemahnya kemampuan UMKM dalam mengakses informasi diduga terkait langsung dengan kondisi faktor internal UMKM yang dibayangi oleh berbagai keterbatasan untuk mampu memberikan informasi kepada konsumen. Akibatnya produk UMKM yang sebenarnya memiliki pangsa pasar yang cukup besar di dunia internasional, belum banyak diketahui konsumen. Salah satu masalah besar yang dihadapi dalam pemberdayaan UMKM adalah rendahnya akses UMKM terhadap pasar (Syarif, 2008).

Mediasi sebagai salah satu cara merangkul UMKM
 Kondisi Pemasaran UMKM
Tingkat keterbukaan di pasar konsumen rendah karena perusahaan tidak memiliki peluang yang cukup pada masyarakat umum dan sejauh ini hanya beberapa pameran dagang khusus, pameran tetap atau kampanye penjualan saja yang pernah diadakan. Konsumen dalam negeri, terutama di daerah kota, sering kurang mengetahui produk-produk yang dihasilkan perusahaan kecil dan menengah dalam negeri atau sangat tidak percaya dan penuh prasangka terhadap produk-produk ini bila diukur menurut standar mutu internasional (Clapham, 1991).
Menurut Sadoko (1995), akses pemasaran merupakan akses terpenting. Dalam membantu usaha kecil, akses ini dibuka melalui pengembangan pola subkontrak, mekanisme pusat pasar informasi, promosi pasaran atau konsumsi melalui anggaran pemerintah. Promosi dan pusat informasi akan sangat berguna bila didukung oleh kemampuan profesional membaca peluang pasar bagi usaha kecil tersebut dan pelayanan tersebut disediakan bagi siapa saja.
Pola subkontrak seringkali dilakukan UMKM, namun pola ini cenderung menjadikan industri “bapak” memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan dengan usaha “anak”. Dalam prakteknya, ketika industri “bapak” melakukan order, maka usaha “anak”, dalam hal ini UMKM akan berkompetisi untuk mendapatkan pesanan tersebut. Kondisi ini membuat industri “bapak” mampu menekan harga produksi UMKM. Strategi penekanan ongkos produksi seperti ini dilakukan untuk mempertahankan jalur pemasaran yang ada. Sepakat dengan hal ini, Amidi (2008) juga menyebutkan bahwa masalah pemasaran yang dihadapi UMKM adalah lemahnya barganing power pengusaha kecil dalam menghadapi perusahaan besar.
Menurut Clapham (1991), selama perusahaan menjual barangnya melalui pengecer, mereka tidak perlu mengembangkan kegiatan pemasaran sendiri. Namun, perusahaan yang menjual sendiri barang-barang yang dihasilkannya (seperti mebel, sepatu, tekstil) perlu memberikan perhatian pada bidang pemasaran. Umumnya pelaku usaha tidak memiliki kepandaian khusus dalam soal-soal ini dan tidak tahu kemana ia dapat mencari informasi yang dapat dipercaya mengenai perkembangan pasar, iklan, atau saluran pemasaran yang lebih baik.
Masalah pemasaran merupakan salah satu penyebab penting mengapa pengusaha tidak mampu membuat rencana jangka menengah dan jangka panjang. Dapat diperkirakan bahwa masalah-masalah pemasaran bagi pengusaha kecil dan menengah akan makin meningkat. Secara keseluruhan, masalah-masalah pemasaran mengakibatkan bahwa perusahaan kecil dan mengengah sulit memainkan peranannya dalam pembangunan sebagai pelengkap sektor industri dan pemasok barang bagi konsumen. Karena itu, program-program promosi dalam masa yang akan datang harus lebih banyak memberikan perhatian pada soal pemasaran daripada dalam masa yang sudah-sudah (Clapham, 1991).

Sumber:
Anonim, 2010. Undang-Undang No.20 Tahun 2008. (http://www.smecda.com/Files/infosmecda/uu_permen/UU_2008_20_TENTANG_USAHA_MIKRO_KECIL_DAN_MENENGAH.pdf) diunduh tanggal 30 April 2012.

Clapham, Ronald, 1991. Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia Tenggara. Penerjemah Masri Maris. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.

Eva, Agustine, 2007. Persepsi Penggunaan Aplikasi Internet untuk Pemasaran Produk Usaha Kecil Menengah. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007, ISSN: 1907-5022. http://journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/viewFile/1719/1500 diunduh tanggal 2 Mei 2012.

Rahmana, Arief, 2009. Peranan Teknologi Informasi dalam Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2009, ISSN: 1907-5022. http://journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/viewFile/1033/989 diunduh tanggal 2 Mei 2012.

Sadoko, et al., 1995. Pengembangan Usaha Kecil: Pemihakan Setengah Hati. Yayasan Akatiga. Bandung.

Sulistyastuti, Dyah Ratih, 2004. Dinamika Usaha Kecil dan Menengah (UKM): Analisis Konsentrasi Regional UKM di Indonesia 1999-2001. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 9, Nomor 2 Desember 2004, Halaman 143-164. http://journal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/view/617/543 diunduh tanggal 30 April 2012.

Syarif, Teuku, 2008. Kajian Efektivitas Model Promosi Pemasaran Produk UMKM. http://www.smecda.com/kajian/files/Jurnal_3_2008/01_T.Syarif.pdf. diunduh tanggal 30 April 2012.

Tambunan, Tulus T.H., 2009. UMKM di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Read More......